Selasa, 10 November 2015

Noda-Noda Cinta

Pengantar

Salah satu pondasi penting dalam beribadah adalah cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah ruh dalam beribadah. Orang yang beribadah tanpa ada rasa cinta kepada Allah, maka akan kering spiritual dan hati seolah gersang. Sedangkan ibadah yang diiringi rasa cinta kepada Allah, maka akan terasa nikmat, hati seolah mendapat siraman air sejuk dari pegunungan yang hijau. Begitu pula orang yang hidup tanpa dipenuhi cinta, maka akan terasa kelam dalam menjalani hidupnya. Kekuatan cinta bisa mengatasi rasa malas, meringankan beban, dan melapangkan dada.

Saking pentingnya cinta, banyak para ulama yang menulis buku tentang cinta, salah satunya adalah buku Raudhatul Muhibbin (Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta) yang dikarang oleh Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauzi. Kata Syaikh Muhammad Quraish Shihab, cinta tidak bisa dilukiskan atau didefiniskan secara utuh lewat kata-kata, cinta hanya bisa dirasakan gejala-gejalanya saja. Kalaupun dibuat definisi tentang cinta, tentu akan banyak sekali definisi cinta dari orang yang mengalaminya.

Secara umum, cinta adalah ketergantungan hati kepada yang dicintai. Cinta akan membuat seseorang meninggalkan sesuatu yang dibenci oleh orang yang dicintai, dan melakukan sesuatu yang disukai oleh orang yang dicintai. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Para ulama juga mengatakan bahwa cinta itu ada yang asli dan palsu; ada cinta asli dan cinta palsu. Artinya, ada yang benar-benar cinta, tetapi ada pula yang hanya sekedar syahwat, bukan cinta yang sesungguhnya. 

Pembagian Cinta

Secara garis besar, cinta dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Cinta yang bersifat ibadah

Yaitu cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, kerendahan diri, dan ketaatan mutlak kepada Allah. Dan orang-orang yang beriman amat besar cintanya kepada Allah (Al-Baqarah: 165). Dalam ayat lain disebutkan bahwa Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang mereka bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin…(Al-Maidah: 54).

Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Ibarat seekor burung; rasa takut dan harap adalah kedua sayap, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan sampai kepada-Nya.

2. Cinta yang bersifat tabiat (manusiawi)

Yaitu cinta yang sifatnya manusiawi, setiap manusia normal pasti memiliki cinta jenis ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 14 yang menjelaskan bahwa Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). 

Jadi, boleh-boleh saja mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Lagi pula hal-hal yang sifatnya duniawi merupakan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Para ulama menjelaskan bahwa cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan. Hubbud dun-ya ra’su kulli khati’atin. Oleh sebab itu, kita harus bisa mengekspresikan cinta kepada selain Allah secara proporsional dan tidak berlebih-lebihan. 

Cinta Allah dan Rasul-Nya

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah pokok dari segala cinta. Imam Al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin bahwa umat Islam telah sepakat bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban. Artinya, seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu termasuk diri kita sendiri. Rasulullah bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai daripada segala sesuatu” (HR. Imam Ahmad). 

Bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih besar daripada kecintaan kepada diri kita sendiri. Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari meriwayatkan hadits yang menceritakan dialog antara Sayyidina Muhammad dan Sayyidina Umar bin Khattab. 

Pernah suatu ketika Umar bin Khattab berkata, “Ya Rasulallah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu, kecuali terhadap diriku sendiri”. Kemudian Nabi berkata, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, imanmu belum sempurna. Aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri. Kemudian Umar berkata, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Lalu Nabi pun berkata, “Saat ini pula imanmu telah sempurna, wahai Umar”.

Menumbuhkan Cinta

Kecintaan kepada Allah bisa ditumbuhkan dengan kesadaran bahwa Allah sangat mencintai kita. Salah satu buktinya Allah menganugerahkan berbagai macam nikmat yang begitu besar, contohnya: nikmat islam, iman, kehidupan, kesehatan, ketaatan, hidayah, rezeki, keluarga, pendidikan, makan, minum, dan sebagainya. Allah memberikan kita ribuan nikmat tanpa kita minta, seperti nikmat pernafasan, detak jantung, aliran darah, pencernaan, dan sebagainya. Allah juga terkadang mengabulkan lebih dari yang kita minta, kalaupun Allah tidak mengabulkan permohonan kita, pasti ada rencana yang lebih baik darinya. Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hambanya yang beriman. Rencana Allah jauh lebih indah dari rencana kita yang paling indah.

Allah juga menjanjikan pahala dan surga bila kita beriman dan berbuat baik, serta memberikan ampunan dari segala dosa bila kita bertaubat. Kita sebagai makhluk Allah sering berbuat dosa, tidak taat kepada-Nya, dan melanggar perintah-Nya; akan tetapi Allah tetap memberikan nikmat-Nya kepada kita. Bukankah ini adalah bukti bahwa Allah Maha Cinta, tidak mungkin Allah begitu pemurah kepada kita bila tidak mencintai kita. Bukankah Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim, sifat pemurah dan kasih sayang kepada makhluk-Nya yang mengalahkan kemurkaan-Nya.

Kata Syaikh Abdullah Zaen Kedungwuluh, “Segala sesuatu yang dikerjakan dengan rasa cinta akan terasa ringan. Apapun yang kita hadapi akan terasa ringan dengan adanya cinta”.

Noda-Noda Cinta

Ada beberapa hal yang bisa menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa masuk ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain:

1. Syirik Cinta

Yang dimaksud syirik cinta, bukan semata-mata tidak boleh mencintai kepada selain Allah. Mencintai kepada selain Allah adalah hal yang wajar dan manusiawi, seperti cinta sepasang suami-istri, keluarga, anak, orangtua, harta benda, dan sebagainya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan syirik cinta adalah mencintai kepada selain Allah dengan cinta yang berlebihan dan bersifat ibadah. Hal ini mengandung makna bahwa kita dilarang untuk mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah, bahkan mencintainya hampir menyamakan ibadah kepada Allah.

Contoh dari syirik cinta: kaum pagan sangat mencintai patung-patung berhala yang dibuatnya sendiri karena menganggap dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang mabuk asmara, “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu”, atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu”, atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu”. Mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan lain sebagainya.

2.  Zina Cinta

Mencintai sesuatu hingga menyebabkan melakukan perbuatan dosa. Misalnya: sepasang kekasih yang belum menikah melakukan khalwat (berduaan di tempat sepi), saling memandang dengan syahwat, saling menyentuh, bahkan—na’udzubillahi min dzalik—hingga melakukan zina.
Seorang lelaki mencintai seorang wanita atau sebaliknya adalah fitrah manusia yang telah Allah takdirkan. Kendati demikian, jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan yang telah Allah atur dalam agama. Jangan sampai anugerah cinta yang Allah karuniakan kepada kita justru malah mengarah pada murka Allah. Pendeknya, cinta yang diiringi dengan kemaksiatan tentu akan menodai kesucian cinta yang Allah anugerahkan.

3. Cinta Tidak Karena Allah

Salah satu sebab yang bisa menodai kesucian cinta adalah mencintai sesuatu tidak karena Allah, melainkan semata-mata karena kesenangan duniawi. Bagi orang yang beriman, mencintai adalah salah satu bentuk ibadah yang suci. Oleh karena itu, cintanya orang beriman tidak berhenti hanya sebatas kesenangan duniawi, tetapi dilandasi karena cinta kepada Allah. 

Kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda, “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, tidak memberi pun karena Allah, sungguh imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud).  Dalam hadits lain Nabi juga mengatakan, “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah” (HR. Tirmidzi). Jadi, salah satu tanda kesempurnaan iman seseorang adalah mencintai segala yang kita cintai karena Allah semata. 

4. Menomorduakan Cinta Kepada Allah

Kita boleh cinta kepada selain Allah, tetapi jangan sampai menomorduakan cinta kepada Allah. Sebab, cinta kepada Allah harus di atas segala cinta, cinta kepada Allah harus nomor satu, dan harus tiada tandingannya. Setelah itu, cinta kepada Rasul-Nya Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru kemudian disusul cinta kepada yang lain, seperti cinta kepada para sahabat, tabi’in, ulama, para wali, orangtua, anak, sanak-saudara, dan seterusnya.


*Diambil dari catatan tabligh akbar “Noda-Noda Cinta” yang disampaikan Ustadz Abdullah Zaen hafizhahullah pada hari Ahad, 27 Sya’ban 1436 / 14 Juni 2015 di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, dengan beberapa penambahan dan pengurangan dari pencatat. 

By Rihan Musadik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar